Hati-hati di Jalan, ya.
melihat pegunungan dalam perjalanan pulang kala itu, membuatku teringat akan seseorang. seseorang yang pernah menjadikan diriku saat itu sedikit berarti. seseorang yang selalu menganggap diriku sebagai tempatnya untuk membagikan keluh kesah —begitupun sebaliknya-- saat dunia sekitar kita dipenuhi dengan sorakan penghakiman
mulanya tak pernah ada rasa kagum pada diri ini. perasaan ini hanya semata-mata sebagai hubungan seorang kakak dan adik tingkat saja. tak sangka bahwa sebuah obrolan itu mengantarkan kita pada percakapan intens yang lainnya. namun, semakin lama perasaan itu tak mampu ku sangkal lagi. aku melihat bagai ada duplikat sosok papa ku pada dirinya
sosok yang begitu lembut tutur katanya, ada rasa aman tanpa takut akan dihakimi atau merasa dikucilkan. dia adalah contoh sosok pendengar yang baik
ada bagian dari diri ini yang seakan-akan memaksa meminta untuk memiliki. namun aku cukup sadar diri bahwa aku belum mampu mencintai diriku sendiri. bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain tanpa sebelumnya mencintai diriku sendiri?
hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjauh dari jangkauannya. menghilang bukan karena ingin dicari. tetapi menghilang untuk merelakan. sialnya, aku kembali ditemukan olehnya. setelah sebulan penuh tanpa kabar. ya, dia menemukanku dan menuntut jawaban atas alasanku bersikap seperti itu
bodoh kalau ku jawab jujur atas rasa ini. lalu apa yg aku katakan padanya saat itu? aku hanya meminta maaf tanpa menjelaskan apa kesalahanku dan meminta dirinya untuk berhenti menghubungi. dia menepati janji hingga sampailah berbulan-bulan kemudian aku mendapat kabar bahagia baginya, tapi sakit bagiku
entah kenapa, sebulan sebelum hari bahagianya, feelingku lebih dulu bekerja menggerakkan jariku untuk melihat status di kontak profilnya. ada status yang menurut hatiku artinya tersirat dan aku benci dengan kelebihanku yang satu ini. aku benci ternyata aku cukup peka akan banyak hal. aku benci harus tau kalau hal yang akan terjadi sedari awal adalah sesuatu yang aku takutkan
lucunya, ini semua terjadi tepat saat seorang musisi terkenal dan amat sangat disukai akan diksi pada lirik-lirik lagunya merilis lagu dengan judul "Hati-hati di Jalan"
kau melanjutkan perjalananmu
ku melanjutkan perjalananku
namun sosoknya sedikit demi sedikit sudah mulai terkikis. aku menulis tentangnya hanya karena ingin mengenang kebodohanku dan menjadikannya sebuah pelajaran: kalau memang masih belum yakin, lebih baik jangan pernah coba-coba untuk menaruh hati pada siapapun. apalagi sampai memupuknya hingga rasa itu semakin lama semakin tumbuh
kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri. stop berharap sama manusiaaaaaaaa
Comments
Post a Comment